By : “Sang Al-Banna”
Alkisah bermula dari sebuah
desa kecil yang jarang orang mengetahui namanya namun tak jarang orang
melewatinya, Desa tersebut bernama Tak Gennah. Meskipun Tak Gennah merupakan
desa kecil, banyak orang bepergian keluar masuk Tak Gennah untuk berbagai
keperluan. Sebagian berdagang, menjajakan hasil panennya ke Kota-Provinsi dan lain
sebagainya. Desa Tak Gennah ini merupakan sebuah desa yang banyak dikagumi
orang. Namun, aneh Pengagumnya adalah para perampok, hal ini dikarenakan di
desa inilah kawanan perampok kenamaan dan legendaris berasal.
Kawanan perampok itu
beranggotakan tiga orang, dua orang lelaki dan seorang perempuan. Dua orang
lelaki itu bernama Gabus dan yang satu lagi Nyasar, sedangkan yang tercantik di
kawanan ini adalah Roselina. Melleng begitulah banyak orang memanggil
mereka.
Siapa yang tak mengenal si
Melleng ini. Tak jarang kasus perampokan besar disematkan pada namanya. Mulai
dari perampokan di warung klenteng, rumah pejabat dengan jumlah total kekayaan
milyaran rupiah sampai pada perampokan emas berkilo-kilo (maaf agak lebay).
Hasil dari kerja keras mereka itu sebagaian disumbangkan kepada fakir miskin,
layaknya Robin Hood dari Inggris. Sebagian banyak mereka simpan sebagai
persiapan di hari tua, karena Melleng berkesepakatan untuk menyudahi aksi
mereka pada waktu yang tepat nanti.
*********************
Melleng sedang berkumpul di
posko, tempat mereka meracik strategi. Malam itu adalah malam jum’at.
Sebenarnya peraturan Melleng menyatakan bahwa dilarang merampok pada malam
jumat, entah apa alasan mereka. Tapi pada malam itu berhembus kabar bahwa akan
ada seorang kaya raya melintas di ujung kampung dengan membawa sebagian banyak
barang dagangannya. Malam jumat pun tak menjadi rintangan jika berurusan dengan
target yang super kaya, namun baru kali ini Melleng melanggar kesepakatan yang
mereka buat.
Singkat cerita Melleng sedang
menunggu target. Setengah jam berlalu, Melleng mulai berputar pandangan,
khawatir targetnya terlewatkan. Satu jam terlewatkan, Melleng mulai gelisah
karena target yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan kehadiran.
“Bos, benar nggak ni orang
kaya itu datang malam ini?”, Nyasar bertanya.
“Kabarnya valid kok, kamu
tahu kan kalau pengirim kabar tak pernah salah”, Gabus menimpali.
“Iya aku tahu itu”, jawab
Nyasar.
Rose hanya diam saja namun
ikut mengangguk. Tak lama berselang datang seorang dengan barang bawaannya
melintas di depan Melleng.
“Nah, ini yang kita tunggu
sudah datang.”, ucap Rose membubarkan percakapan Gabus dan Nyasar.
Tidak menunggu lama lagi,
secepat kilat Melleng menghadang orang yang mereka tunggu sejam yang lalu.
“Hai kawan, sudah sejam kami
menunggumu di sini. Barang apa yang bisa menggantikan rasa penasaran kami?”,
Nyasar memulai ancaman.
“Oyah, kalian menungguku selama itu? Kira-kira
apa yang kalian harapkan dariku?”, jawab orang itu dengan santai, seolah dia
tahu apa yang diharapkan oleh Melleng.
“O…, baik rupa kawan kita ni.
Nawarkan apa yang kita mau…” senyum Nyasar sinis. “Gampang aja, ello tinggal
pilih nyawa apa barang, he…”, sambung Gabus enteng seraya menirukan logat
Betawi, sedang dua temannya tersenyum mendengar sesuatu yang tak lumrah dari
mulut Gabus.
Tapi lelaki dewasa itu hanya
tersenyum tenang dalam tunduknya. “Silahkan…”, ajaknya dan membuka tudung
mobil ‘pick up’ belakang.
“Apa ini?”, ketiganya
tercengang. Hanya ada beberapa bahan sembako, mulai dari beras beberapa karung
sampai minyak goreng pun ada.
“Heh, kamu mau dagang di
sini?”, Nyasar menyenggol lengan Gabus seraya berbisik ‘Ello..,’. “Owh, iya.
Emang ello ke sini mau dagang?”, Rose hanya mengamati, mengintip dari tiap
tirai kain yang menutupi setiap barang.
“Bahan itu banyak yang
membutuhkan. Kalau kalian tidak suka, di jok depan saya bawa barang…” Melleng
serentak menelan ludah meski sama sekali tidak haus. Busyet, dah. Baru kali ini
mereka dapat mangsa baik hati. Alis mereka semakin akur, mencoba membaca
kejanggalan. Dan seperti biasa, lelaki itu nampak tenang. Dipandanginya pemuda
dengan usia yang teraut sama. Lirikan Melleng penuh pertanyaan seperti saling
mengirim dan menerima sinyal. Jangan-jangan ini jebakan, atau di jok depan
nanti dia ambil pistol, dan atau, atau, atau..
“Sini, biar Gue yang buka…”,
Rose memberanikan diri menerobos jalan di depan lelaki dewasa itu meski jalan
di belakangnya jauh lebih lapang. Rose membuka pintu sopir mobil. Rose
tercengang ketika didapatinya wanita tertidur pulas di samping kiri tempat
duduk sopir, sama sekali tidak terusik oleh kejadian ini. Remang sorot lampu
mobil sedikit menggambarkan rupanya. Kulitnya putih, sangat putih ketika baju
coklat tuanya nampak kontras berpadu di lengannya. Meski pulas, bibirnya yang
tak berpoles selalu terlihat tersenyum.
“Dia istriku...”, suara
lelaki dewasa itu membangunkan lamunan Rose. Jelas saja Rose tertegun dengan
anggunnya wanita berselimut jas suaminya itu. Desa Tak Gennah ini menenggelamkan
peran wanita untuk terlihat anggun seperti wanita itu. Aktifitas mereka cukup
dirumah dan mengurus anak, memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Cukup tabu jika
wanita terlalu banyak beraktifitas.
Nyasar dan Gabus menyusul.
Tak ada yang tahu, apa yang kini telah ada di benak Rose, terlebih lelaki yang
kini sudah Rose sadari begitu tampan dengan penuh perhatian merapikan jas yang
menutupi tubuh istrinya.
“Eh, siapa nama ello?” tanya
gabus.
“Ghafur...”
“O.., lidah kita tak
terbiasa.... Kita panggil ello Apung, Abdullah jadi Dulla..”
“Ghe-o-ghe...” sambung Nyasar
yang mengingatkannya pada sebuah lagu yang baru-baru ini cukup masyhur tentang
anak Madura. Gabus tersenyum menyepakati, sedang Rose hanya tersenyum sinis.
“Sudah sampai, Yah...?” suara
berat namun lembut itu menghentikan tawa Melleng. Dan membalikkan
kembali perhatian Apung.
“Belum, Bun..., Ayah bertemu
dengan teman ayah...” Teman? Pertanyaan itu tersimpul dari saling pandang
bergantian ketiganya. Wanita yang dipanggilnya Bunda itu keluar pelan dan
membulatkan matanya dengan senyum renyah. Pandangan berakhir pada Rose yang
tertegun dan nampak canggung dengan penampilannya sendiri; celana ¾ dan kaos lengan
pendeknya. Sedang rambutnya yang tanggung dijepit seperti orang hendak mandi.
Kontras dengan ‘Bunda’.
“Gue Rose..., itu temen gue
Nyasar dan yang itu Gabus...” balas Rose berusaha menyembunyikan rasa
canggungnya agar tangan dengan jari bercincin indah itu tak jadi menyalaminya.
“Saya Anisa. Senang bisa
bertemu...” sambungnya sopan dan halus. Apung mengeluarkan sebuah ransel dari
dalam mobilnya.
“Ini lagi barang saya...”
Nyasar dan Gabus berhambur menyegerakan diri melihat ransel yang dikeluarkan.
Rose dan Anisa pun datang mendekati.
“Asli ni?” tanya Nyasar
seraya mengambil lembaran uang ratusan ribu dan beberapa perhiasan. Sebanyak
itukah?
“Semua itu asli, tapi itu
bukanlah apa-apa. Karena semua yang kami bawa adalah apa yang semua manusia
inginkan dan butuhkan...” Anisa menimpali, sedang 3 pasang mata itu terbelalak.
Sungguh tak bisa dipercaya.
“Apa yang kalian mau,
ambillah. tapi waktu luang yang kalian lewatkan hanya untuk menunggu kami
rasanya tidak cukup” Rose merasa tak mungkin dengan apa yang dihadapannya. Dia
mulai gelisah. Sekian banyak korban yang mereka dapat, selalu menyempatkan diri
untuk menyelipkan barang yang mereka emani, berkelit lidah dan sebagainya. Tapi
orang ini, mereka seolah semua enteng hanya dengan senyum tapi begitu
menyentuh. Enggak! Aku ga’ boleh kemakan dengan rayu dan senyum mereka!. Rose
membathin.
“Siapa kalian?” Rose begitu
saja berdiri dan menatap Apung beserta istrinya. Anisah tertegun. Bukankah
kalian teman? Bukankah ini tujuan mas Apung untuk membawa barang-barangnya, sebuah
nadzar kecil jika satu mimpinya kelak tercapai, mencari desa yang tak terjamah
dan membagikan sedikit kesenangan dengan sesama. Anisa terdiam membaca
sekeliling. Tapi dia sudah tahu, hal terbaik adalah diam. Dia percaya suaminya,
pilihannya dan lelaki dengan komitmen yang kuat nan sabar. Dia pasti tahu jalan
keluarnya. Anisa tersenyum kembali meski denyut jantung kekhawatirannya tak
lagi senada dengan ritme tubuhnya.
“Kami penjual topeng...”
jawaban singkat ini mampu membuat Nyasar, Gabus dan Rose semakin penasaran.
Penjual topeng? Sesederhana itukah? Dengan tumpukan uang ratusan ribu,
perhiasan asli tapi memakai pickup yang teramat sederhana, tanpa pengawal dan
tanpa rasa takut akan apapun. Apa yang dimilikinya lagi?, masih adakah yang
lebih berharga dari pada tumpukan uang ini?. Sedang di sudut sana, Anisa
bertasbih, melafadzkan Asma meminta perlindungan terhebatnya. Jagalah suamiku,
Robb..., setiap kata dari lisannya mampu membangunkan harimau disaat seperti
ini, maka jagalah dan tuntunlah agar indah dia bertutur. Aku tahu, dia memang
tak pernah memiliki rasa takut kehilangan, karena dia sadar akan dua hal;
tentang semua ini titipanMu, dan hanya Engkau miliknya yang terindah. Maka
miliki pulalah suamiku. Doa Anisa...
“Sudah, kami enggak mau
lama-lama. Kami Cuma mau separoh dari harta di ransel ello” Rose berusaha
menutupi ketakutannya. Entah apa itu, tak ada yang benar-benar tahu. Yang
jelas, ada sesuatu di dalam dadanya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Rose!, yang bener lo!, masak separoh?”, bisik Nyasar. Rose tak menggubrisnya.
Namun, Tak Genna tak mau tak terlihat KOMPAK. Nyasar dan Gabus mengiyakan meski
sangat disayangkan.
“Apa kalian tidak mau melihat
topeng kami?”, tanpa menunggu jawaban dari Melleng, Apung mengeluarkan
sebuah koper kecil. Anisa mendekati suaminya meski, mengajak ketiganya dengan
senyum mepersilahkan.
“Loh, mana ? G ada...”
“Iya...”
Topeng kami tak terlihat,
wujudnyapun tak nampak. Tapi dia menyesuaikan dengan pemakainya. Anisa memandang
suaminya samar. Apa yang sedang kau lakukan, sayang?.
“Maksudmu, topeng kalian
topeng ajaib?” Keingin tahuan Gabus melupakan tujuan utama mereka. Atau,
mungkin ini jawabannya, mengapa mereka begitu kaya.
“Kau tahu nabi Muhammad?”
“Nabi orang Islam ya?”
“Nah, kamu..., agamamu apa,
Sar..”
“Siapa tahu Apung bukan
muslim kayak kita..”
“Liat aja istrinya, pakek
kerudung gitu...” Gabus mengarahkan matanya pada Anisa yang dibalasnya dengan
senyum. Rose merasa tak enak. Akupun wanita yang selalu ingin dipuji. Sekeras
apapun wanita, kami selalu ingin terlihat anggun dan menarik, cantik...
“Nabipun memakai topeng
seperti topeng yang tengah kami pakai saat ini...”
“Topeng? Nabi? Kalian
bertopeng?” Nyasar terheran. Tidak ada topeng dan dia sama sekali tak
melihatnya. Anisah memandang suaminya. Tatapan mereka hanya terhitung dalam
detik. Ya... Aku paham...
“Mau mendengarkan
ceritaku...?” Anisa bertutur. Dia mencoba mengambil peran yang diberikan
suaminya dengan kesederhanaan mata itu; separoh lakonku, dan separoh bagianmu.
Harus seimbang dan cermat. Hati-hati dan senada. Meski tak bisa sama,
setidaknya menyerupai. Ah, tugasmu!!!
Rose duduk dihimpit dua
sahabatnya, sedang di depan mereka sepasang suami istri itu duduk berdekatan.
Tangan kanan Anisa tergenggam erat oleh jemari Apung yang penuh urat keras.
Pasti bisa...
*******************
“Topeng mu mana nak?” Tanya
sang ibu. “Malas aku memakainya Bu”, Jawab Anggie. “Lho kenapa bagitu?” ibunya
menimpali. “Di ibu kota seabrek-abrek orang memakainya Bu. Dan aku tak ingin
seperti mereka yang memakainya. Memang mereka terlihat cantik dan rupawan.
Memang banyak orang yang memperhatikannya dan sesaat menjadi pusat perhatian.
Namun perhatian semua orang itu semu Bu, mereka senang dengan cantik dan seksi
yang ditampilkan oleh gadis-gadis itu , semuanya palsu. Tak jarang karena
topeng itu pula mereka mendapat perlakuan tidak senonoh, Para lelaki
memacarinya hanya sekedar main-main, hanya buat kesenangan mereka, mencicipi bibir mereka, memeluk erat
tubuh mereka, setelah itu habis sudah masa depannya. Sebagian lagi hanya
sebagai bahan tontonan karena cantik dan seksi. Aku tidak mau seperti mereka
Bu. Aku mau cantikku bukan karena topeng. Aku ingin cantikku terbangun dari
dalam. Aku cantik karena akhlakku dan perangaiku karena dengan hal ini, para
lelaki itu tidak seenaknya memandangku dan tidak seenaknya memperlakukanku. Aku
ingin seperti Khadijah yang karena mulia akhlaknya, Rosulullah tak mampu
melupakannya. Aku ingin seperti Bunda Theresa yang karena akhlaknya, semua
orang tak berdaya merasa tak sendiri di dunia ini. Aku ingin seperti mereka.
Tolong ibu jangan paksa aku untuk memakai topeng itu lagi karena aku sudah tak
tahu tersimpan di mana topeng itu.”
Di saat yang sama namun
di tempat berbeda terjadi pula perbincangan yang senada. Topeng mu mana nak?
Kok tidak melekat lagi di wajahmu? Dua pertanyaan beruntun ditanyakan sang
bapak kepada Andi. “emmmmm, anu pak.” Andi berpikir dengan mencari jawaban yang
pas agar sang bapak tidak tersinggung. “Saya sudah membuangnya pak, saya buang
di kali Ciliwung, mudah-mudahan tidak ada orang yang menemukannya.” Kata Andi
memulai jawabannya. “Kenapa kamu buang Di? Kamu tidak tahu perjuangan bapak
untuk mendapatkan topeng itu. Betapa susahnya bapak untuk mendapatkannya.”
Kemudian sang bapak menceritakan detail proses ketika dia mendapatkan topeng
itu. Sebagai anak yang baik, Andi memperhatikannya dengan seksama. Setelah
cerita sang bapak usai, dengan tegas Andi berkata: “Pak, saya tahu sekarang
betapa susahnya bapak mendapatkan topeng itu dan saya menghargai niat bapak
untuk membahagiakan saya dengan memberi topeng itu agar tak lagi orang
memandang saya sebelah mata. Saya sangat bangga menjadi anak bapak, saya cinta
bapak. Tapi pak, tolong bapak hargai juga jerih payah saya untuk mendapatkan
pribadi seperti saat ini tanpa topeng itu. Susah payah saya menghapus bayang-bayang
topeng itu agar tak sekedar merenggut keaslian saya. Susah payah juga saya
melepaskannya untuk memilih yang benar-benar baik pak. Banyak politisi, advokad
dan orang-orang terhormat juga memakainya pak. Namun, saya tak tahu itu topeng
mereka atau itulah wajah asli mereka. Saya baru tahu setelah tinggal di ibu
kota. Dengan topeng itu mereka merasa aman karena orang akan selalu
memandangnya baik walaupun seringkali terjerat dengan kasus korupsi, menindas
orang-orang yang dianggapnya tidak penting dan membodohi masyarakat awam.
Topeng itu menutupinya dan orang-orang tak tahu yang sebenarnya, pak. Saya
tidak mau seperti mereka. Saya lebih memilih untuk berbuat baik walaupun tak
seorang pun mengetahuinya. Saya mencoba untuk tak membodohi orang lain walaupun
orang itu mudah untuk dibodohi. Saya mendedikasikan hidup saya untuk melindungi
orang-orang tertindas meskipun tak ada keuntungan materil bagi saya pak. Tolong
jangan paksa saya untuk memakai topeng itu kembali pak, karena susah payah saya
memperjuangkannya hingga saya seperti sekarang ini.” Seketika tumpah air mata
sang bapak mendengarkan penjelasan anaknya. Kata-kata anaknya menyentuh ruh
paling dalam dari seorang manusia. Dengan lirih sang bapak berkata: “demi Allah
bapak tidak akan memaksamu memakai topeng itu nak, mengungkit-ungkitnya lagi
pun bapak tak akan pernah. Bapak malu padamu nak, usiamu tak lebih dari separuh
usia bapak tapi pemahamanmu melebihi usia bapak. Maafkan bapak nak, sekali lagi
maafkan bapak mu ini.”
**********************
“Apa seperti itu hidup di Jakarta...?”
“Apa ibu anak gadis itu mau
menerima penolakan anaknya seperti Andy?” pertanyaan itu hanya ditanggapi
senyum oleh Apung dan Anisa. Namun, senyum itu tak lagi lebar ketika pertanyaan
Rose begitu tulus, “Apa aku juga tengah memakai topeng itu...?” Anisa terdiam.
Dipandanginya wajah ayu gadis desa yang asli itu meski hanya dengan penerangan
seadanya.
“Mendekatlah, Rose...” sambut
Anisa dengan membuka tangannya. Gadis itu nampak ragu, tapi Rose masih
menyimpan keberanian Anggie dan Andi untuk tak memanipulasi diri mereka hanya
dengan rasa takut. Rose mendekat, menghadapkan wajahnya di hadapan anisa yang
duduk anggun.
Lekat, Anisa memandang wajah
Rose.
“Aku tak perlu menggantinya,
Rose. Topeng yang kami bawa hanya cocok untuk kami pakai sendiri. Sedang kamu
sudah memilikinya. Hanya saja aku perlu menyentuhnya di beberapa titik. Apa
boleh...?” Rose mengangguk mempersilahkan.
Jemari lentik Anisa menyentuh
wajah Rose. Meski sedikit kasar, tapi cukup lembut untuk Rose yang tak pernah mendapatkan
rasa ini, dicium, dipeluk dan bahkan sekadar dipandang begitu lekat.
“Topengmu hanya sedikit
retak. Kau tidak menjaganya dengan baik...” Nyasar dan Gabus hanya
memperhatikan. Mereka tidak sedalam Rose merasakan meski kini sedikit pelan
mereka mulai mengerti.
“Topengmu retak karena kau
terlalu memaksakannya. Kau begitu cantik, Ros. Alismu begitu panjang dengan
matamu yang terang menyala berani. Hidungmupun berujung, dan kau memiliki
lesung pipit. Angkat sedikit alismu, aku tarik sedikit saja pipimu...” Rose
menangis, mana pernah ada yang memujinya ‘cantik’, atau menyentuh lembut
wajahnya.
“Kau tahu, Topeng kami akan
pecah jika dia melakukan banyak hal; pertama, jika kau sedih dan menangis.
Kedua, jika kau marah. Ketiga, jika kau berbohong pada dirimu sendiri. Keempat,
jika kau tak mau bersyukur, dan yang terpenting saat kau membuat orang lain
menangis hanya untuk kepentinganmu sendiri”.
“Jika topeng ini pecah,
bearti kita akan hidup dengan wajah kita yang asli?” Nyasar mulai menyadari..
“Jika pecah, karena tidak
melakukan syarat hidup. Maka topeng kemunafikan yang akan menggantinya. Topeng
aslimu akan hancur dan kau menenggelamkan dirimu sendiri. Kau akan membunuh
jiwamu dan membiarkan semu betengger” jawab Apung.
“Lalu, apa yang Anggie dan
Andi buang...”
“Mereka membuang
bayang-bayang sekitar dan mimpi orang tua mereka. Anggie tak mau lata dengan
kehidupan ibu kota yang menuntut kebanyakan orang bersaing menampilkan kelakuannya.
Sedang Andi, dia bukan bapaknya. Andi tetaplah Andi, dan bapaknya harus membiarkan
Andi menjadi dirinya. Seperti iman, mimpipun tak bisa diwariskan”.
**********************
Dan benar-benar malam yang
keramat, malam Jum’at. Entah kesepakatan apa yang telah mereka buat sehingga
hanya lambaian tangan melepas Apung dan Anisa berlalu begitu saja. Tak ada
hasil rampasan malam ini kecuali pemberian, topeng yang indah dan sebuah
kerudung kuning toska yang digenggam Rose.
“Kalo kamu berjilbab, terus
masih jadi perampok, Ros... Apa kata Malaikat ya...?” @aw_86 061112
Salam untuk Akhi & Ukhty by: ^_^ Muhas SB ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih atas komentar yang telah diberikan oleh pengunjung, komentar anda adalah motivasi bagi saya..
thank you very much