Translate

2.4.13

TOPENG : “Jaga Agar Tak Retak”



By : “Sang Al-Banna”

 Alkisah bermula dari sebuah desa kecil yang jarang orang mengetahui namanya namun tak jarang orang melewatinya, Desa tersebut bernama Tak Gennah. Meskipun Tak Gennah merupakan desa kecil, banyak orang bepergian keluar masuk Tak Gennah untuk berbagai keperluan. Sebagian berdagang, menjajakan hasil panennya ke Kota-Provinsi dan lain sebagainya. Desa Tak Gennah ini merupakan sebuah desa yang banyak dikagumi orang. Namun, aneh Pengagumnya adalah para perampok, hal ini dikarenakan di desa inilah kawanan perampok kenamaan dan legendaris berasal.

Kawanan perampok itu beranggotakan tiga orang, dua orang lelaki dan seorang perempuan. Dua orang lelaki itu bernama Gabus dan yang satu lagi Nyasar, sedangkan yang tercantik di kawanan ini adalah Roselina. Melleng begitulah banyak orang memanggil mereka.
Siapa yang tak mengenal si Melleng ini. Tak jarang kasus perampokan besar disematkan pada namanya. Mulai dari perampokan di warung klenteng, rumah pejabat dengan jumlah total kekayaan milyaran rupiah sampai pada perampokan emas berkilo-kilo (maaf agak lebay). Hasil dari kerja keras mereka itu sebagaian disumbangkan kepada fakir miskin, layaknya Robin Hood dari Inggris. Sebagian banyak mereka simpan sebagai persiapan di hari tua, karena Melleng berkesepakatan untuk menyudahi aksi mereka pada waktu yang tepat nanti.
*********************
Melleng sedang berkumpul di posko, tempat mereka meracik strategi. Malam itu adalah malam jum’at. Sebenarnya peraturan Melleng menyatakan bahwa dilarang merampok pada malam jumat, entah apa alasan mereka. Tapi pada malam itu berhembus kabar bahwa akan ada seorang kaya raya melintas di ujung kampung dengan membawa sebagian banyak barang dagangannya. Malam jumat pun tak menjadi rintangan jika berurusan dengan target yang super kaya, namun baru kali ini Melleng melanggar kesepakatan yang mereka buat.
Singkat cerita Melleng sedang menunggu target. Setengah jam berlalu, Melleng mulai berputar pandangan, khawatir targetnya terlewatkan. Satu jam terlewatkan, Melleng mulai gelisah karena target yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan kehadiran.
“Bos, benar nggak ni orang kaya itu datang malam ini?”, Nyasar bertanya.
“Kabarnya valid kok, kamu tahu kan kalau pengirim kabar tak pernah salah”, Gabus menimpali.
“Iya aku tahu itu”, jawab Nyasar.
Rose hanya diam saja namun ikut mengangguk. Tak lama berselang datang seorang dengan barang bawaannya melintas di depan Melleng.
“Nah, ini yang kita tunggu sudah datang.”, ucap Rose membubarkan percakapan Gabus dan Nyasar.
Tidak menunggu lama lagi, secepat kilat Melleng menghadang orang yang mereka tunggu sejam yang lalu.
“Hai kawan, sudah sejam kami menunggumu di sini. Barang apa yang bisa menggantikan rasa penasaran kami?”, Nyasar memulai ancaman.
 “Oyah, kalian menungguku selama itu? Kira-kira apa yang kalian harapkan dariku?”, jawab orang itu dengan santai, seolah dia tahu apa yang diharapkan oleh Melleng.
“O…, baik rupa kawan kita ni. Nawarkan apa yang kita mau…” senyum Nyasar sinis. “Gampang aja, ello tinggal pilih nyawa apa barang, he…”, sambung Gabus enteng seraya menirukan logat Betawi, sedang dua temannya tersenyum mendengar sesuatu yang tak lumrah dari mulut Gabus.
Tapi lelaki dewasa itu hanya tersenyum tenang dalam tunduknya. “Silahkan…”,  ajaknya dan membuka tudung mobil ‘pick up’ belakang.
“Apa ini?”, ketiganya tercengang. Hanya ada beberapa bahan sembako, mulai dari beras beberapa karung sampai minyak goreng pun ada.
“Heh, kamu mau dagang di sini?”, Nyasar menyenggol lengan Gabus seraya berbisik ‘Ello..,’. “Owh, iya. Emang ello ke sini mau dagang?”, Rose hanya mengamati, mengintip dari tiap tirai kain yang menutupi setiap barang.
“Bahan itu banyak yang membutuhkan. Kalau kalian tidak suka, di jok depan saya bawa barang…” Melleng serentak menelan ludah meski sama sekali tidak haus. Busyet, dah. Baru kali ini mereka dapat mangsa baik hati. Alis mereka semakin akur, mencoba membaca kejanggalan. Dan seperti biasa, lelaki itu nampak tenang. Dipandanginya pemuda dengan usia yang teraut sama. Lirikan Melleng penuh pertanyaan seperti saling mengirim dan menerima sinyal. Jangan-jangan ini jebakan, atau di jok depan nanti dia ambil pistol, dan atau, atau, atau..
“Sini, biar Gue yang buka…”, Rose memberanikan diri menerobos jalan di depan lelaki dewasa itu meski jalan di belakangnya jauh lebih lapang. Rose membuka pintu sopir mobil. Rose tercengang ketika didapatinya wanita tertidur pulas di samping kiri tempat duduk sopir, sama sekali tidak terusik oleh kejadian ini. Remang sorot lampu mobil sedikit menggambarkan rupanya. Kulitnya putih, sangat putih ketika baju coklat tuanya nampak kontras berpadu di lengannya. Meski pulas, bibirnya yang tak berpoles selalu terlihat tersenyum.
“Dia istriku...”, suara lelaki dewasa itu membangunkan lamunan Rose. Jelas saja Rose tertegun dengan anggunnya wanita berselimut jas suaminya itu. Desa Tak Gennah ini menenggelamkan peran wanita untuk terlihat anggun seperti wanita itu. Aktifitas mereka cukup dirumah dan mengurus anak, memasak dan pekerjaan rumah lainnya. Cukup tabu jika wanita terlalu banyak beraktifitas.
Nyasar dan Gabus menyusul. Tak ada yang tahu, apa yang kini telah ada di benak Rose, terlebih lelaki yang kini sudah Rose sadari begitu tampan dengan penuh perhatian merapikan jas yang menutupi tubuh istrinya.
“Eh, siapa nama ello?” tanya gabus.
“Ghafur...”
“O.., lidah kita tak terbiasa.... Kita panggil ello Apung, Abdullah jadi Dulla..”
“Ghe-o-ghe...” sambung Nyasar yang mengingatkannya pada sebuah lagu yang baru-baru ini cukup masyhur tentang anak Madura. Gabus tersenyum menyepakati, sedang Rose hanya tersenyum sinis.
“Sudah sampai, Yah...?” suara berat namun lembut itu menghentikan tawa Melleng. Dan membalikkan kembali perhatian Apung.
“Belum, Bun..., Ayah bertemu dengan teman ayah...”  Teman? Pertanyaan itu tersimpul dari saling pandang bergantian ketiganya. Wanita yang dipanggilnya Bunda itu keluar pelan dan membulatkan matanya dengan senyum renyah. Pandangan berakhir pada Rose yang tertegun dan nampak canggung dengan penampilannya sendiri; celana ¾ dan kaos lengan pendeknya. Sedang rambutnya yang tanggung dijepit seperti orang hendak mandi. Kontras dengan ‘Bunda’.
“Gue Rose..., itu temen gue Nyasar dan yang itu Gabus...” balas Rose berusaha menyembunyikan rasa canggungnya agar tangan dengan jari bercincin indah itu tak jadi menyalaminya.
“Saya Anisa. Senang bisa bertemu...” sambungnya sopan dan halus. Apung mengeluarkan sebuah ransel dari dalam mobilnya.
“Ini lagi barang saya...” Nyasar dan Gabus berhambur menyegerakan diri melihat ransel yang dikeluarkan. Rose dan Anisa pun datang mendekati.
“Asli ni?” tanya Nyasar seraya mengambil lembaran uang ratusan ribu dan beberapa perhiasan. Sebanyak itukah?
“Semua itu asli, tapi itu bukanlah apa-apa. Karena semua yang kami bawa adalah apa yang semua manusia inginkan dan butuhkan...” Anisa menimpali, sedang 3 pasang mata itu terbelalak. Sungguh tak bisa dipercaya.
“Apa yang kalian mau, ambillah. tapi waktu luang yang kalian lewatkan hanya untuk menunggu kami rasanya tidak cukup” Rose merasa tak mungkin dengan apa yang dihadapannya. Dia mulai gelisah. Sekian banyak korban yang mereka dapat, selalu menyempatkan diri untuk menyelipkan barang yang mereka emani, berkelit lidah dan sebagainya. Tapi orang ini, mereka seolah semua enteng hanya dengan senyum tapi begitu menyentuh. Enggak! Aku ga’ boleh kemakan dengan rayu dan senyum mereka!. Rose membathin.
“Siapa kalian?” Rose begitu saja berdiri dan menatap Apung beserta istrinya. Anisah tertegun. Bukankah kalian teman? Bukankah ini tujuan mas Apung untuk membawa barang-barangnya, sebuah nadzar kecil jika satu mimpinya kelak tercapai, mencari desa yang tak terjamah dan membagikan sedikit kesenangan dengan sesama. Anisa terdiam membaca sekeliling. Tapi dia sudah tahu, hal terbaik adalah diam. Dia percaya suaminya, pilihannya dan lelaki dengan komitmen yang kuat nan sabar. Dia pasti tahu jalan keluarnya. Anisa tersenyum kembali meski denyut jantung kekhawatirannya tak lagi senada dengan ritme tubuhnya.
“Kami penjual topeng...” jawaban singkat ini mampu membuat Nyasar, Gabus dan Rose semakin penasaran. Penjual topeng? Sesederhana itukah? Dengan tumpukan uang ratusan ribu, perhiasan asli tapi memakai pickup yang teramat sederhana, tanpa pengawal dan tanpa rasa takut akan apapun. Apa yang dimilikinya lagi?, masih adakah yang lebih berharga dari pada tumpukan uang ini?. Sedang di sudut sana, Anisa bertasbih, melafadzkan Asma meminta perlindungan terhebatnya. Jagalah suamiku, Robb..., setiap kata dari lisannya mampu membangunkan harimau disaat seperti ini, maka jagalah dan tuntunlah agar indah dia bertutur. Aku tahu, dia memang tak pernah memiliki rasa takut kehilangan, karena dia sadar akan dua hal; tentang semua ini titipanMu, dan hanya Engkau miliknya yang terindah. Maka miliki pulalah suamiku. Doa Anisa...
“Sudah, kami enggak mau lama-lama. Kami Cuma mau separoh dari harta di ransel ello” Rose berusaha menutupi ketakutannya. Entah apa itu, tak ada yang benar-benar tahu. Yang jelas, ada sesuatu di dalam dadanya yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Rose!, yang bener lo!, masak separoh?”, bisik Nyasar. Rose tak menggubrisnya. Namun, Tak Genna tak mau tak terlihat KOMPAK. Nyasar dan Gabus mengiyakan meski sangat disayangkan.
“Apa kalian tidak mau melihat topeng kami?”, tanpa menunggu jawaban dari Melleng, Apung mengeluarkan sebuah koper kecil. Anisa mendekati suaminya meski, mengajak ketiganya dengan senyum mepersilahkan.
“Loh, mana ? G ada...”
“Iya...”
Topeng kami tak terlihat, wujudnyapun tak nampak. Tapi dia menyesuaikan dengan pemakainya. Anisa memandang suaminya samar. Apa yang sedang kau lakukan, sayang?.
“Maksudmu, topeng kalian topeng ajaib?” Keingin tahuan Gabus melupakan tujuan utama mereka. Atau, mungkin ini jawabannya, mengapa mereka begitu kaya.
“Kau tahu nabi Muhammad?”
“Nabi orang Islam ya?”
“Nah, kamu..., agamamu apa, Sar..”
“Siapa tahu Apung bukan muslim kayak kita..”
“Liat aja istrinya, pakek kerudung gitu...” Gabus mengarahkan matanya pada Anisa yang dibalasnya dengan senyum. Rose merasa tak enak. Akupun wanita yang selalu ingin dipuji. Sekeras apapun wanita, kami selalu ingin terlihat anggun dan menarik, cantik...
“Nabipun memakai topeng seperti topeng yang tengah kami pakai saat ini...”
“Topeng? Nabi? Kalian bertopeng?” Nyasar terheran. Tidak ada topeng dan dia sama sekali tak melihatnya. Anisah memandang suaminya. Tatapan mereka hanya terhitung dalam detik. Ya... Aku paham...
“Mau mendengarkan ceritaku...?” Anisa bertutur. Dia mencoba mengambil peran yang diberikan suaminya dengan kesederhanaan mata itu; separoh lakonku, dan separoh bagianmu. Harus seimbang dan cermat. Hati-hati dan senada. Meski tak bisa sama, setidaknya menyerupai. Ah, tugasmu!!!
Rose duduk dihimpit dua sahabatnya, sedang di depan mereka sepasang suami istri itu duduk berdekatan. Tangan kanan Anisa tergenggam erat oleh jemari Apung yang penuh urat keras. Pasti bisa...
*******************
“Topeng mu mana nak?” Tanya sang ibu. “Malas aku memakainya Bu”, Jawab Anggie. “Lho kenapa bagitu?” ibunya menimpali. “Di ibu kota seabrek-abrek orang memakainya Bu. Dan aku tak ingin seperti mereka yang memakainya. Memang mereka terlihat cantik dan rupawan. Memang banyak orang yang memperhatikannya dan sesaat menjadi pusat perhatian. Namun perhatian semua orang itu semu Bu, mereka senang dengan cantik dan seksi yang ditampilkan oleh gadis-gadis itu , semuanya palsu. Tak jarang karena topeng itu pula mereka mendapat perlakuan tidak senonoh, Para lelaki memacarinya hanya sekedar main-main, hanya buat kesenangan  mereka, mencicipi bibir mereka, memeluk erat tubuh mereka, setelah itu habis sudah masa depannya. Sebagian lagi hanya sebagai bahan tontonan karena cantik dan seksi. Aku tidak mau seperti mereka Bu. Aku mau cantikku bukan karena topeng. Aku ingin cantikku terbangun dari dalam. Aku cantik karena akhlakku dan perangaiku karena dengan hal ini, para lelaki itu tidak seenaknya memandangku dan tidak seenaknya memperlakukanku. Aku ingin seperti Khadijah yang karena mulia akhlaknya, Rosulullah tak mampu melupakannya. Aku ingin seperti Bunda Theresa yang karena akhlaknya, semua orang tak berdaya merasa tak sendiri di dunia ini. Aku ingin seperti mereka. Tolong ibu jangan paksa aku untuk memakai topeng itu lagi karena aku sudah tak tahu tersimpan di mana topeng itu.”
Di saat yang sama  namun di tempat berbeda terjadi pula perbincangan yang senada. Topeng mu mana nak? Kok tidak melekat lagi di wajahmu? Dua pertanyaan beruntun ditanyakan sang bapak kepada Andi. “emmmmm, anu pak.” Andi berpikir dengan mencari jawaban yang pas agar sang bapak tidak tersinggung. “Saya sudah membuangnya pak, saya buang di kali Ciliwung, mudah-mudahan tidak ada orang yang menemukannya.” Kata Andi memulai jawabannya. “Kenapa kamu buang Di? Kamu tidak tahu perjuangan bapak untuk mendapatkan topeng itu. Betapa susahnya bapak untuk mendapatkannya.” Kemudian sang bapak menceritakan detail proses ketika dia mendapatkan topeng itu. Sebagai anak yang baik, Andi memperhatikannya dengan seksama. Setelah cerita sang bapak usai, dengan tegas Andi berkata: “Pak, saya tahu sekarang betapa susahnya bapak mendapatkan topeng itu dan saya menghargai niat bapak untuk membahagiakan saya dengan memberi topeng itu agar tak lagi orang memandang saya sebelah mata. Saya sangat bangga menjadi anak bapak, saya cinta bapak. Tapi pak, tolong bapak hargai juga jerih payah saya untuk mendapatkan pribadi seperti saat ini tanpa topeng itu. Susah payah saya menghapus bayang-bayang topeng itu agar tak sekedar merenggut keaslian saya. Susah payah juga saya melepaskannya untuk memilih yang benar-benar baik pak. Banyak politisi, advokad dan orang-orang terhormat juga memakainya pak. Namun, saya tak tahu itu topeng mereka atau itulah wajah asli mereka. Saya baru tahu setelah tinggal di ibu kota. Dengan topeng itu mereka merasa aman karena orang akan selalu memandangnya baik walaupun seringkali terjerat dengan kasus korupsi, menindas orang-orang yang dianggapnya tidak penting dan  membodohi masyarakat awam. Topeng itu menutupinya dan orang-orang tak tahu yang sebenarnya, pak. Saya tidak mau seperti mereka. Saya lebih memilih untuk berbuat baik walaupun tak seorang pun mengetahuinya. Saya mencoba untuk tak membodohi orang lain walaupun orang itu mudah untuk dibodohi. Saya mendedikasikan hidup saya untuk melindungi orang-orang tertindas meskipun tak ada keuntungan materil bagi saya pak. Tolong jangan paksa saya untuk memakai topeng itu kembali pak, karena susah payah saya memperjuangkannya hingga saya seperti sekarang ini.” Seketika tumpah air mata sang bapak mendengarkan penjelasan anaknya. Kata-kata anaknya menyentuh ruh paling dalam dari seorang manusia. Dengan lirih sang bapak berkata: “demi Allah bapak tidak akan memaksamu memakai topeng itu nak, mengungkit-ungkitnya lagi pun bapak tak akan pernah. Bapak malu padamu nak, usiamu tak lebih dari separuh usia bapak tapi pemahamanmu melebihi usia bapak. Maafkan bapak nak, sekali lagi maafkan bapak mu ini.”

**********************
 “Apa seperti itu hidup di Jakarta...?”
“Apa ibu anak gadis itu mau menerima penolakan anaknya seperti Andy?” pertanyaan itu hanya ditanggapi senyum oleh Apung dan Anisa. Namun, senyum itu tak lagi lebar ketika pertanyaan Rose begitu tulus, “Apa aku juga tengah memakai topeng itu...?” Anisa terdiam. Dipandanginya wajah ayu gadis desa yang asli itu meski hanya dengan penerangan seadanya.
“Mendekatlah, Rose...” sambut Anisa dengan membuka tangannya. Gadis itu nampak ragu, tapi Rose masih menyimpan keberanian Anggie dan Andi untuk tak memanipulasi diri mereka hanya dengan rasa takut. Rose mendekat, menghadapkan wajahnya di hadapan anisa yang duduk anggun.
Lekat, Anisa memandang wajah Rose.
“Aku tak perlu menggantinya, Rose. Topeng yang kami bawa hanya cocok untuk kami pakai sendiri. Sedang kamu sudah memilikinya. Hanya saja aku perlu menyentuhnya di beberapa titik. Apa boleh...?” Rose mengangguk mempersilahkan.
Jemari lentik Anisa menyentuh wajah Rose. Meski sedikit kasar, tapi cukup lembut untuk Rose yang tak pernah mendapatkan rasa ini, dicium, dipeluk dan bahkan sekadar dipandang begitu lekat.
“Topengmu hanya sedikit retak. Kau tidak menjaganya dengan baik...” Nyasar dan Gabus hanya memperhatikan. Mereka tidak sedalam Rose merasakan meski kini sedikit pelan mereka mulai mengerti.
“Topengmu retak karena kau terlalu memaksakannya. Kau begitu cantik, Ros. Alismu begitu panjang dengan matamu yang terang menyala berani. Hidungmupun berujung, dan kau memiliki lesung pipit. Angkat sedikit alismu, aku tarik sedikit saja pipimu...” Rose menangis, mana pernah ada yang memujinya ‘cantik’, atau menyentuh lembut wajahnya.
“Kau tahu, Topeng kami akan pecah jika dia melakukan banyak hal; pertama, jika kau sedih dan menangis. Kedua, jika kau marah. Ketiga, jika kau berbohong pada dirimu sendiri. Keempat, jika kau tak mau bersyukur, dan yang terpenting saat kau membuat orang lain menangis hanya untuk kepentinganmu sendiri”.
“Jika topeng ini pecah, bearti kita akan hidup dengan wajah kita yang asli?” Nyasar mulai menyadari..
“Jika pecah, karena tidak melakukan syarat hidup. Maka topeng kemunafikan yang akan menggantinya. Topeng aslimu akan hancur dan kau menenggelamkan dirimu sendiri. Kau akan membunuh jiwamu dan membiarkan semu betengger” jawab Apung.
“Lalu, apa yang Anggie dan Andi buang...”
“Mereka membuang bayang-bayang sekitar dan mimpi orang tua mereka. Anggie tak mau lata dengan kehidupan ibu kota yang menuntut kebanyakan orang bersaing menampilkan kelakuannya. Sedang Andi, dia bukan bapaknya. Andi tetaplah Andi, dan bapaknya harus membiarkan Andi menjadi dirinya. Seperti iman, mimpipun tak bisa diwariskan”.
**********************
Dan benar-benar malam yang keramat, malam Jum’at. Entah kesepakatan apa yang telah mereka buat sehingga hanya lambaian tangan melepas Apung dan Anisa berlalu begitu saja. Tak ada hasil rampasan malam ini kecuali pemberian, topeng yang indah dan sebuah kerudung kuning toska yang digenggam Rose.
“Kalo kamu berjilbab, terus masih jadi perampok, Ros... Apa kata Malaikat ya...?” @aw_86 061112




Salam untuk Akhi & Ukhty by: ^_^ Muhas SB ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas komentar yang telah diberikan oleh pengunjung, komentar anda adalah motivasi bagi saya..
thank you very much